Rabu, 08 Februari 2012

EKSTRAKSI


Prinsip Ekstraksi Cair-Cair

Ekstraksi cair-cair (corong pisah) merupakan pemisahan komponen kimia di antara 2 fase pelarut yang tidak saling bercampur di mana sebagian komponen larut pada fase pertama dan sebagian larut pada fase kedua, lalu kedua fase yang mengandung zat terdispersi dikocok, lalu didiamkan sampai terjadi pemisahan sempurna dan terbentuk dua lapisan fase cair, dan komponen kimia akan terpisah.
Jika suatu cairan ditambahkan kedalam ekstrak cairan lain yang tidak dapat bercampur dengan yang pertama akan terbentuk 2 lapisan , satu komponen dari campuran aka memiliki kelarutan kedalam dua lapisan tersebut (biasanya disebut fase) dan setelah beberapa waktu dicapai kesetimbangan konsentrasi dalam kedua lapisan.waktu diperlukan untuk tercapainya keseimbangan biasanya dipersingkat dengan pencampuran kedua fase tersebut dalam corong pisah. Kedalam kedua fase tersebut sesuai dengan tingkat kepolarannya dengan perbandingan konsentrasi yang tetap.
Cara kerja pada tanaman :
1.       Ekstrak metanol ditimbang sebanyak 1 gram
2.       Ekstrak kemudian dilarutkan dengan 15 ml heksan dan dimasukkan dalam coromg pisah
3.       Ekstrak yang tidak larut disuspensikan dengan 5 ml air dan dimasukkan ke dalam corong pisah
4.       Corong pisah di kocok hingga homogen dan didiamkan selama beberapa saat hingga terbentuk 2 lapisan pelarut.
5.       Lapisan heksan kemudian ditampung dan lapisan air dimasukkan kembali dan ditambahkan 15 ml heksan yang baru, penggantian pelarut heksan yang baru dilakukan sebanyak 3 kali.
6.       Lapisan heksan yang diperoleh kemudian diuapkan, ekstrak heksam yang diperoleh kemudian ditimbang dan sebagian dimasukkan kedalam vial.
7.       Lapisan air kemudian ditambahkan dengan pelarut n-butanol jenuh air sebanyak 15 ml didalam corong pisah dan kemudian dikocok.
8.       Kemudian corong pisah didiamkan selama beberapa sesaat hingga terbentuk 2 lapisan pelarut.
9.       Kemudian lapisan ke dua  pelarut yang terbentuk ditampung kedalam 2 wadah yang berbeda.
10.   Kemudian ekstrak n-butanol diuapkan hingga terbentuk ekstrak yang kental.
11.   Kemudian ekstrak kental ditimbang dan kemudian sebagian dimasukkan ke dalam vial.
12.   Dilakukan identifikasi senyawa dengan menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dengan menggunakan eluen polar dan non-polar dengan penampak noda oleh sinar UV serta pereaksi H2SO4.
Ekstraksi cair pada hewan (biota laut) :
1.      Ekstrak metanol kental ditimbang sebanyak 2 g.
2.      Dilarutkan dengan 15 ml kloroform dan dimasukkan kedalam corong pisah.
3.      Corong pisah dikocok hingga homogen dan didiamkan selama beberapa saat hingga terbentuk 2 lapisan pelarut.
4.      Lapisan Kloroform kemudian ditampung dan pada lapisan air ditambahkan kembali 15 ml kloroform yang baru, penggantian pelarut kloroform yang baru dilakukan sebanyak 3 kali.
5.      Lapisan air kemudian ditampung dan diuapkan sampai kering.
6.      Ekstrak air dilarutkan dengan metanol kemudian disentrifus.
7.      Ekstrak metanol yang diperoleh, diuapkan kemudian ditimbang.
8.      Dilakukan identifikasi senyawa dengan menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dengan menggunakan eluen polar dan non-polar dengan penampakn noda oleh sinar UV serta pereaksi H2SO4.

H.    Ekstraksi Padat Cair
Ekstraksi padat cair (leaching) merupakan salah satu unit operasi pemisahan tertua yang digunakan untuk memperoleh komponen zat terlarut dari campurannya dalam padatan dengan cara mengontakkannya dengan pelarut yang sesuai.
Operasi ekstraksi ini dapat dilakukan dengan mengaduk suspensi padatan di dalam tangki atau dengan menyusun padatan tersebut dalam suatu unggun tetap (fixed bed), kemudian cairan pelarut mengalir di antara butiran padatan, cara ini disebut cara perkolasi.Penelitian ini bertujuan mengembangkan teori perkolasi ke dalam proses ekstraksi padat cair yang dilakukan dalam unggun tetap. Tujuan penelitian dicapai melalui penurunan model matematika yang disusun berdasarkan teori perkolasi serta percobaan ekstraksi biji jarak menggunakan pelarut n-heksan di dalam kolom unggun tetap untuk menguji model tersebut. Persamaan model memberikan kurva sejarah konsentrasi (kurve breakthrough) yang menggambarkan konsentrasi zat terlarut dalam cairan keluar kolom terhadap waktu ekstraksi dalam besaran-besaran tak berdimensi. Besaran-besaran yang divariasikan adalah laju alir pelarut dan tinggi unggun.Model yang paling mendekati hasil percobaan ternyata adalah model difusi film dimana sebagai pengendali proses ekstraksi adalah model difusi film dimana sebagai pengendali proses ekstraksi adalah tahanan difusi film. Meski demikian masih diperlukan koreksi terhadap hasil model ini. Parameter-parameter yang berpengaruh terhadap unjuk kerja ekstraksi padat cair di dalam kolom unggun tetap adalah jumlah tahap, jumlah unit transfer massa difusi film, dan parameter kapasitas. Semakin tinggi laju alir pelarut, maka koefisien transfer massanya semakin besar sehingga penurunan konsentrasi zat terlarut dalam cairan keluar kolom terjadi lebih cepat, yang berarti kemiringan kurva breaktroughnya juga makin besar.
Konsentrasi mula-mula zat terlarut di dalam kolom sangat jauh dari konsentrasi keseimbangan seperti yang diharapkan oleh model dan ternyata konsentrasi mula-mula tersebut sebanding dengan tinggi unggun. Faktor koreksi yang diperlukan oleh model merupakan fungsi tinggi unggun dan konsentrasi keseimbangan. Rata-rata kesalahan kurva breakthrough yang telah dikoreksi ini sebesar 4.74% terhadap titik-titik data percobaan.

Senin, 06 Februari 2012

EMULSI

Pengertian Emulsi
Emulsi adalah suatu disperse di mana fase terdispers terdiri dari bulatan-bulatan kecil zat cair yang terdistribusi ke seluruh pembawa yang tidak bercampur (1).
Emulsi adalah suatu system heterogen, yang terdiri dari tidak kurang dari sebuah fase cair yang tidak bercampur, yang terdispersi dalam fase cair lainnya, dalam bentuk tetesan-tetesan, dengan diameter secara umum, lebih dari 0,1 μm (2).
Secara umum, emulsi merupakan system yang terdiri dari dua fase cair yang tidak bercampur, yaitu fase dalam (internal) dan fase luar (eksternal).
Komponen emulsi :
  • Fase dalam (internal)
  • Fase luar (eksternal)
  • Emulsifiying Agent (emulgator)
Tipe-Tipe Emulsi (3)
  1. Tipe minyak/air (m/a atau o/w), dimana fase minyak terdispersi dalam fase air (minyak=internal, air=eksternal)
  2. Tipe air/minyak (a/m atau w/o), dimana fase air terdispersi dalam fase minyak (air=internal, minyak=eksternal)
  3. Tipe emulsi ganda (w/o/w dan o/w/o), lebih dikenal dengan emulsi dalam emulsi, yaitu suatu emulsi tipe tertentu yang didispersikan lagi dalam suatu fase pendispersi. Tipe ini pada umumnya dapat ditemui dalam formulasi kosmetika.
  4. Mikroemulsi
Pengujian Tipe Emulsi (2)
  • Test Pengenceran Tetesan
Metode ini berdasarkan prinsip bahwa suatu emulsi akan bercampur dengan yang menjadi fase luarnya. Misalnya suatu emulsi tipe m/a, maka emulsi ini akan mudah diencerkan dengan penabahan air. Begitu pula sebaliknya dengan tipe a/m.
  • Test Kelarutan Pewarna
Metode ini berdasarkan prinsip keseragaman disperse pewarna dalam emulsi , jika pewarna larut dalam fase luar dari emulsi. Misalnya amaranth, adalah pewarna yang larut air, maka akan terdispersi seragam pada emulsi tipe m/a. Sudan III, adalah pewarna yang larut minyak, maka akan terdispersi seragam pada emulsi tipe a/m.
  • Test Creaming (Arah Pembentukan Krim)
Creaming adalah proses sedimentasi dari tetesan-tetesan terdispersi berdasarkan densitas dari fase internal dan fase eksternal. Jika densitas relative dari kedua fase diketahui, pembentukan arah krim dari fase dispers dapat menunjukkan tipe emulsi yang ada. Pada sebagian besar system farmasetik, densitas fase minyak atau lemak kurang dibandingkan fase air; sehingga, jika terjadi krim pada bagian atas, maka emulsi tersebut adalah tipe m/a, jika emulsi krim terjadi pada bagian bawah, maka emulsi tersebut merupakan tipe a/m.
  • Test Konduktivitas Elektrik
Metode ini berdasarkan prinsip bahwa air atau larutan berair mampu menghantarkan listrik, dan minyak tidak dapat menghantarkan listrik. Jika suatu elektroda diletakkan pada suatu system emulsi, konduktivitas elektrik tampak, maka emulsi tersebut tipe m/a, dan begitu pula sebaliknya pada emulsi tipe a/m.
  • Test Fluorosensi
Sangat banyak minyak yang dapat berfluorosensi jika terpapar sinar ultra violet. Jika setetes emulsi di uji dibawah paparan sinar ultra violet dan diamati dibawah mikroskop menunjukkan seluruh daerah berfluorosensi maka tipe emulsi itu adalah a/m, jika emulsi tipe m/a, maka fluorosensi hanya berupa noda.
Teori Emulsifikasi (1)
  • Teori Tegangan –permukaan
Bila cairan kontak dengan cairan kedua yang tidak larut dan tidak saling bercampur, kekuatan (tenaga) yang menyebabkan masing-masing cairan menahan pecahnya menjadi partikel-partikel yang lebih kecil disebut tegangan antarmuka. Zat-zat aktif permukaan (surfaktan) atau zat pembasah, merupakan zat yang bekerja menurunkan tegangan antarmuka ini.
  • Oriented Wedge Theory
Menganggap bahwa lapisan monomolecular dari zat pengemulsi melingkari suatu tetesan dari fase dalam pada emulsi. Teori ini berdasarkan pada anggapan bahwa zat pengemulsi tertentu mengarahkan dirinya di sekitar dan dalam suatu cairan yang merupakan gambaran kelarutannya pada cairan tertentu.
  • Teori plastic atau Teori Lapisan antarmuka
Bahwa zat pengemulsi membentuk lapisan tipis atau film yang mengelilingi fase dispers dan diabsorbsi pada permukaan dari tetesan tersebut. Lapisan tersebut mencegah kontak dan bersatunya fase terdispersi; makin kuat dan makin lunak lapisan tersebut, akan makin besar dan makin stabil emulsinya.
Bahan-Bahan Pengemulsi (1)
  1. Bahan-bahan karbohidrat , bahan-bahan alami seperti akasia (gom), tragakan, agar, kondrus dan pectin. Bahan-bahan ini membentuk koloid hidrofilik bila ditambahkan kedalam air dan umumnya menghasilkan emulsi m/a.
  2. Zat-zat protein seperti : gelatin, kuning telur, dan kasein. Bahan-bahan ini menghasilkan emulsi tipe m/a. kerugian gelatin sebagai suatu zat pengemulsi adalah sediaan menjadi terlalu cair dan menjadi lebih cair pada pendiaman.
  3. Alkohol dengan bobot molekul tinggi seperti : stearil alcohol, setil alcohol, dan gliseril monostearat. Biasa digunakan sebagai penstabil emusi tipe m/a dari lotio dan salep tertentu yang digunakan sebagai obat luar. Kolesterol dan turunannya dapat digunakan sebagai emulsi untuk obat luar dan menghasilkan emulsi tipe a/m.
  4. Zat-zat pembasah, yang bersifat kationik, anionic dan nonionic. Zat-zat ini mengandung gugus hidrofilik dan lipofilik dengan bagian lipofilik dari molekul menyebabkan aktivitas permukaan dari molekul tersebut.
  5. Zat padat yang terbagi halus, seperti : tanah liat koloid termasuk bentonit, magnesium hidroksida dan aluminium hidroksida. Umumnya membentuk emulsi tipe m/a bila bahan padat ditambahkan ke fase air jika jumlah volume air lebih besar dari minyak. Jika serbuk bahan padat ditambahkan dalam inyak dan volume fase minyak lebih banyak dari air, suatu zat seperti bentonit sanggup membentuk suatu emulsi a/m.
Aktivitas dan Harga HLB Surfaktan (1)
Aktivitas HLB
Antibusa 1 sampai 3
Pengemulsi (a/m) 3 sampai 6
Zat Pembasah 7 sampai 9
Pengemulsi(m/a) 8 sampai 18
Pelarut 15 sampai 20
Detergen 13 sampai 15
Viskositas Emulsi (4)
Viskositas emulsi dipengaruhi oleh perubahan komposisi :
  1. Adanya hubungan linear antara viskositas emulsi dan viskositas fase kontinu.
  2. Makin besar volume fase dalam, makin besar pula viskositas nyatanya.
  3. Untuk mengatur viskositas emulsi, tiga factor interaksi yang harus dipertimbangkan oleh pembuat formula, yaitu :
  • Viskositas emulsi m/a dan a/m dapat ditingkatkan dengan mengurangi ukuran partikel fase terdispersi ,
  • Kestabilan emulsi ditingkatkan denganpengurangan ukuran partikel, dan
  • Flokulasi atau penggumpalan, yang cenderung membentuk fase dalam yang dapat meningkatkan efek penstabil, walaupun ia meningkatkan viskositas.
4. Biasanya viskositas emulsi meningkat dengan meningkatnya umur sediaan tersebut.
Metode Pembuatan Emulsi (2)
  • Metode Gom Kering
Disebut pula metode continental dan metode 4;2;1. Emulsi dibuat dengan jumlah komposisi minyak dengan ½ jumlah volume air dan ¼ jumlah emulgator. Sehingga diperoleh perbandingan 4 bagian minyak, 2 bagian air dan 1 bagian emulgator.
Pertama-tama gom didispersikan kedalam minyak, lalu ditambahkan air sekaligus dan diaduk /digerus dengan cepat dan searah hingga terbentuk korpus emulsi.
  • Metode Gom Basah
Disebutt pula sebagai metode Inggris, cocok untuk penyiapan emulsi dengan musilago atau melarutkan gum sebagai emulgator, dan menggunakan perbandingan 4;2;1 sama seperti metode gom kering. Metode ini dipilih jika emulgator yang digunakan harus dilarutkan/didispersikan terlebuh dahulu kedalam air misalnya metilselulosa. 1 bagian gom ditambahkan 2 bagian air lalu diaduk, dan minyak ditambahkan sedikit demi sedikit sambil terus diaduk dengan cepat.
  • Metode Botol
Disebut pula metode Forbes (1). Metode inii digunakan untuk emulsi dari bahan-bahan menguap dan minyak-minyak dengan kekentalan yang rendah. Metode ini merrupakan variasi dari metode gom kering atau metode gom basah. Emulsi terutama dibuat dengan pengocokan kuat dan kemudian diencerkan dengan fase luar.
Dalam botol kering, emulgator yang digunakan ¼ dari jumlah minyak(2). Ditambahkan dua bagian air lalu dikocok kuat-kuat, suatu volume air yang sama banyak dengan minyak ditambahkan sedikit demi sedikit sambil terus dikocok, setelah emulsi utama terbentuk, dapat diencerkan dengan air sampai volume yang tepat(1).
  • Metode Penyabunan In Situ
a. Sabun Kalsium
Emulsi a/m yang terdiri dari campuran minyak sayur dan air jeruk,yang dibuat dengan sederhana yaitu mencampurkan minyak dan air dalam jumlah yang sama dan dikocok kuat-kuat. Bahan pengemulsi, terutama kalsium oleat, dibentuk secara in situ disiapkan dari minyak sayur alami yang mengandung asam lemak bebas.
b. Sabun Lunak
Metode ini, basis di larutkan dalam fase air dan asam lemak dalam fase minyak. Jika perlu, maka bahan dapat dilelehkan, komponen tersebut dapat dipisahkan dalam dua gelas beker dan dipanaskan hingga meleleh, jika kedua fase telah mencapai temperature yang sama, maka fase eksternal ditambahkan kedalam fase internal dengan pengadukan.
c. Pengemulsi Sintetik
Beberapa pustaka memasukkannya dalam kategori metode tambahan (1).
Secara umum, metode ini sama dengan metode penyabunan in situ dengan menggunakan sabun lunak dengan perbedaan bahwa bahan pengemulsi ditambahkan pada fase dimana ia dapat lebih melarut. Dengan perbandingan untuk emulsifier 2-5%. Emulsifikasi tidak terjadi secepat metode penyabunan. Beberapa tipe peralatan mekanik biasanya dibutuhkan, seperti hand homogenizer .
Referensi :
  • 1. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi (terjemahan)
Howard C. Ansell
UIP – Jakarta (2005)
  • 2. Dispensing Of Medication
Robert E. King, PhD.
Mack Publishing Company – Pennsylvania (1984)
  • 3. Remington’s Pharmaceutical Sciences 18th
Alfonso R. Gennaro
Mack Publishing Company – Pennsylvania (1990)
  • 4. Teori dan Praktek Farmasi Industri (terjemahan)
Leon Lachman et.all.
UIP – Jakarta (1994)

IODIMETRI - IODOMETRI

Metode analisis dengan reaksi reduksi-oksidasi (redoks) adalah analisis yang terdiri dari perubahan valensi dari bahan-bahan yang bereaksi. Reaktan yang mengalami kehilangan elektron dalam reaksi redoks adalah bahan pereduksi dan dapat diidentifikasi dari persamaan untuk reaksi dimana atom reaktan dikonversi ke tingkat yang lebih tinggi (1) :
Fe2+ ————>   Fe3+ + e
2I- ————->   I2 + 2e
Maka, bahan pengoksidasi adalah reaktan yang menerima elektron dalam reaksi redoks.
Reaksi yang reversible dari 2I- I2 + 2e dapat diaplikasikan dalam analisis bahan-bahan pereduksi seperti tiosianat dan arsenit. (1)
Iodimetri adalah oksidasi kuantitatif dari senyawa pereduksi dengan menggunakan iodium. Iodimetri ini terdiri dari 2, yaitu (2);
a.    Iodimetri metode langsung, bahan pereduksi langsung dioksidasi dengan larutan baku Iodium. Contohnya pada penetapan kadar Asam Askorbat.
b.    Iodimetri metode residual ( titrasi balik), bahan pereduksi dioksidasi dengan larutan baku iodium dalam jumlah berlebih, dan kelebihan iod akan dititrasi dengan larutan baku natrium tiosulfat. Contohnya pada penetapan kadar Natrium Bisulfit.
Iodometri adalah bahan pengoksidasi yang mengoksidasi Kalium iodida (KI) dalam suasana asam, sehingga Iod yang dibebaskan kemudian ditentukan dengan menggunakan larutan baku Natrium tiosulfat. Contohnya pada penetapan kadar Tembaga (II) sulfat. (2)
Hal-hal yang harus diperhatikan (2,3):
a.    Pada umumnya oksidasi langsung dengan iod (Iodimetri) dilakukan untuk bahan-bahan dengan potensial oksidasi yang lebih rendah dari Iod, dan sebaliknya.
b.    Oksidasi oleh oksigen atmosfer pada reaksi oksidasi KI dalam medium asam kuat, dapat menghasilkan nilai titer yang salah sehingga menyebabkan kesalahan estimasi/perkiraan.
c.    Iodometri tidak pernah dilakukan dalam medium basa karena reaksi antara Iod (I2) dengan hidroksida akan menghasilkan ion hipoiodit dan iodat akan akan menjadi 2I-. Dimana 2 mol I- akan mengoksidasi parsial tiosulfat menjadi bentuk oksidasi yang lebih tinggi seperti SO42-
Penentuan titik akhir titrasi (1,2,3,4) :
a.    Indikator kanji ( konsentrasi 0,5% yang dibuat segar dengan menggunakan pati larut yaitu β-amilosa).
b.    Instrument : Potensiometri atau amperometri.
c.    Warna iod dalam pelarut organik misalnya karbon tetraklorida dan kloroform. ( khusus untuk titrasi yang tidak memungkinkan penggunaan indicator kanji, sehingga tidak perlu ditambahkan indikator). Warna merah ungu dari iodin dalam karbon tetraklorida dapat dilihat pada larutan iodin dengan kepekatan yang sangat rendah, sifat inilah dipakai untuk menentukan titik akhir titrasi dengan hilangnya warna merah ungu pada lapisan karbon tetraklorida.Selain karbon tetraklorida, dapat juga dipakai kloroform sebagai indikator dengan sifat yang sama dengan karbon tetraklorida.

Larutan baku dan baku primer/sekunder (1,2,3,4) :
a.    Larutan baku Iodium yang dibakukan dengan Arsen trioksida sebagai baku primer atau dibakukan dengan larutan baku natrium tiosulfat sebagai baku sekunder.
b.    Larutan baku natrium tiosulfat yang dibakukan dengan Kalium bikromat sebagai baku primer atau dibakukan dengan larutan baku Iodium sebagai baku sekunder.
c.    Larutan baku Kalium Bromat yang dibakukan dengan larutan baku natrium tiosulfat sebagai baku sekunder. ( dipakai untuk penetapan kadar secara iodometri yang melibatkan substitusi bromine dengan iod, misalnya penetapan kadar tiroid)
d.    Larutan baku kalium Iodat yang dibakukan dengan larutan baku natrium tiosulfat. ( dipakai untuk penetapan kadar secara iodometri dimana kalium iodat bertindak sebahan bahan pengoksidasi, hasil reaksi membebaskan iod yang kemudian dititrasi dengan larutan baku natrium tiosulfat, misalnya penetapan kadar Kalium iodide)

Referensi :
1.    Adelbert M. Knevel (Ed.). Jenkin’s : Quantitative Pharmaceutical Chemistry, 7th Edition. 1959. MC-Graw Hill Book Company. New York.
2.    Ashutosh Kar. Pharmaceutical Drug Analysis. 2005. New Age International Limited Publishers. New Delhi.
3.    I.M. Kollthoff (Ed.). Volumetric Analysis. MC-Graw Hill Book Company. New York.
4.    Yeanny Wunas & Susanti Said. Kimia Analisis Kuantitatif. 1998. Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin. Makassar.

FARMAKOLOGI


Pengertian Diuretik
Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin. Diuretika adalah Zat-zat yang dapat memperbanyak pengeluaran kemih melalui kerja langsung terhadap ginjal. Istilah diuresis mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya penambahan volume urin yang diproduksi dan yang kedua menunjukkan jumlah pengeluaran zat-zat terlarut dan air. (2,3)
II. 5 Penggolongan Diuretik
Secara umum diuretik dapat dibagi menjadi dua golongan besar yaitu :
  1. Diuretik osmotik.
  2. Penghambat mekanisme transpor elektrolit didalam tubuli ginjal.
Obat yang dapat menghambat transpor elektrolit ditubuli ginjal ialah:
  1. Benzotiadiazid
  2. Diuretik kuat
  3. Diuretik hemat kalium
  4. Penghambat karbonik anhidrase (1,2,21).

II.5.1 Diuretik Osmotik
Istilah diuretik osmotik biasanya dipakai untuk zat bukan elektrolit yang mudah dan cepat untuk dieksresi oleh ginjal. Suatu zat yang dapat bertindak sebagai diuretik osmotik apabila memenuhi 4 syarat :
  1. Difiltrasi secara bebas oleh glomerulus
  2. Tidak atau hanya sedikit direabsorpsi sel tubuli ginjal
  3. Secara farmakologis merupakan zat yang inert
  4. Umumnya resisten terhadap perubahan metabolik.
Dengan sifat-sifat ini, maka diuretik osmotik dapat diberikan dalam jumlah cukup besar sehingga turut menentukan derajat osmolaritas plasma, filtrat glomerulus dan cairan tubuli. Contoh golongan obat ini adalah manitol, urea, gliserin, isosorbit. Adanya zat tersebut dalam cairan tubuli, meningkatkan tekanan osmotik, sehingga jumlah air dan elektrolit yang diekskresi bertambah besar. Tetapi untuk menimbulkan diuresis yang cukup besar, diperlukan dosis diuretik yang tinggi (2).
                               
II.5.2 Penghambat Karbonik Anhidrase
Penghambat karbonik anhidrase terdapat dalam banyak tempat di nefron, tempat utamanya dalam tubulus proksimalis tempat enzim ini mengkatalisis reaksi hidrasi/dehidrasi CO2 yang terlibat dalam reapsorpsi bikarbonat (22).
Asetazolamida, zat ini merintangi enzim karbonikhidrase ditubuli proksimal, sehingga disamping karbonat, Na dan K juga diekskresikan labih banyak bersamaan dengan air (1,2).

II.5.3 Benzotiadiazid
Golongan ini biasanya disebut golongan benzotiadiazid atau tiazid saja. Efek farmakologi tiazid yang utama ialah meningkatkan ekskresi natrium, klorida dan sejumlah air. Efek natriuresis dan kloruresis ini disebabkan oleh penghambatan mekanisme reabsorpsi elektrolit pada hulu tubuli distal. Berbeda dengan diuretik penghambat karbonik anhidrase, perubahan keseimbangan asam basa dalam tubuh tidak mempengaruhi efek diuretik tiazid (2).


II.5.4 Diuretik Hemat Kalium
Yang tergolong dalam kelompok ini ialah antagonis aldosteron, triamteren dan amilorid. Kelompok ini mengantagonis efek aldosteron pada tubulus renalis koligens korteks. Efek diuretiknya tidak sekuat golongan diuretik kuat. Obat ini bermanfaat untuk pengobatan beberapa pasien dengan udem, tetapi akan lebih bermanfaat bila diberikan dengan diuretik lain misalnya golongan tiazid (2,22).
Aldosteron adalah mineralokortikoid endogen yang paling kuat. Peranan utama aldosteron ialah memperbesar reabsorpsi natrium dan klorida ditubuli serta memperbesar ekskresi kalium. Mekanisme kerja antagonis aldosteron adalah penghambatan kompetitif terhadap aldosteron. Ini terbukti dari kenyataan bahwa obat ini hanya efektif bila terdapat aldosteron baik endogen maupun eksogen dalam tubuh dan efeknya dapat dihilangkan dengan meninggikan kadar aldosteron. Jadi dengan pemberian antagonis aldosteron, reabsorbsi ion natrium dihilir tubuli distal dan duktus kolagen dikurangi, dengan demikian ekskresi ion kalium juga berkurang (2).
Triamteren dan amilorid keduanya memperbesar ekskresi natrium dan klorida, sedangkan ekskresi kalium berkurang dan ekskresi bikarbonat tidak mengalami perubahan. Beberapa pengamatan klinik menunjukkan bahwa kedua obat ini terutama bermanfaat bila diberikan bersama diuretik lain, misalnya hidroklortiazid. Amilorid dan triamteren peroral diserap kira-kira 50% dan efek diuresisnya terlihat dalam 6 jam dan berakhir sesudah 24 jam (1,2).

II.5.5 Diuretik Kuat
Diuretik kuat mencakup sekelompok diuretik yang efeknya sangat kuat dibanding diuretik lain. Tempat kerja utamanya dibagiat epitel tebal ansa henle bagian asenden, karena itu disebut loop diuretic. Termasuk dalam kelompok ini adalah asam etakrinat, furosemid dan bumetanid.
Secara umum dapat dikatakan bahwa diuretik kuat mempunyai mula kerja dan lama kerja yang lebih pendek dari tiazid. Hal ini sebagian besar ditentukan faktor farmakokinetik dan adanya mekanisme kompensasi. Diuretik kuat terutama bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi elektrolit diansa henle asendens bagian epitel tebal. Furosemid dan bumetanid mempunyai daya hambat enzim karbonik anhidrase karena keduanya merupakan derivat sulfonamid.
Furosemid lebih banyak digunakan daripada asam etakrinat, karena gangguan saluran cerna yang lebih ringan dan kurva dosis responnya kurang curam. Diuretik kuat sebaiknya diberikan secara oral, kecuali bila diperlukan diuresis yang segera maka diberikan secara iv atau im. Pemberian parenteral ini diperlukan untuk mengatasi udem paru akut(2).


II.6 Mekanisme Kerja Diuretik
Kebanyakan diuretik kerjanya dengan mengurangi absorpsi natrium, sehingga pengeluarannya lewat kemih, dan demikian juga volume air diperbanyak. Obat-obat ini bekerja secara khusus terhadap tubuli, tetapi juga ditempat lain yaitu : 
  1. Tubuli proksimal
Ultrafiltrat mengandung sejumlah besar garam yang ditempat ini direabsorpsi secara aktif untuk lebih kurang 70% antara lain ion natrium dan air. Filtrat tidak berubah dan tetap isotonis terhadap plasma. Diuretik osmotik bekerja ditempat ini dengan mengurangi reabsorpsi natrium dan air.
  1. Lengkungan Henle
Dibagian ini kalsium 25% dari ion klorida yang telah difiltrasi direabsorpsi secara aktif, disusul dengan reabsorpsi pasif dari natrium dan kalium, tetapi tanpa air hingga filtrat menjadi hipotonis.
  1. Tubuli Distal Bagian Depan
Dibagian ini, natrium direabsorpsi secara aktif tanpa air hingga filtrat menjadi lebih cair dan lebih hipotonis. Senyawa tiazid dan klortalidon bekerja ditempat ini dengan memperbanyak ekskresi natrium dan klorida.
  1. Tubuli Distal Bagian Belakang
Ion natrium diserap kembali secara aktif dan berlangsung pertukaran dengan ion kalium, hidrogen dan amonium. Proses ini dikendalikan oleh hormon anak ginjal aldosteron. Zat-zat penghemat kalium bekerja disegmen ini dengan cara mengurangi penukaran ion natrium dengan ion kalium, dengan demikian mengakibatkan retensi kalium. Penyerapan kembali dari air terutama terjadi disaluran pengumpul (ductus collectivus) dan disini bekerja hormon antidiuretik (ADH). (2,3)

II.7 Penggunaan Diuretik
Diuretik digunakan pada semua keadaan dimana dikehendaki peningkatan pengeluaran air, khususnya pada hipertensi dan gagal jantung. Diuretik dapat digunakan pada beberapa keadaan sebagai berikut :
  1. Edema
Semua diuretik dapat digunakan pada keadaan udem. Penyebab utama edema ialah payah jantung, penyebab lainnya adalah penyakit hati dan sindrom nefrotik. Retensi garam dan air dengan pembentukan edema sering terjadi pada penurunan penghantaran darah ke ginjal yang dianggap sebagai insufisiensi volume darah arterial efektif. Pada semua keadaan ini harus diusahakan meningkatkan kadar kalium dalam serum dengan penggunaan bersama diuretik hemat kalium. Pada penderita sirosis hati yang disertai dengan udem, sebaiknya digunakan dulu diuretik hemat kalium kemudian disusul dengan diuretik yang lebih kuat.
  1. Hipertensi
Dasar penggunaan diuretik pada hipertensi terutama karena efeknya resisten terhadap perifer, tetapi efek ini sekunder terhadap kesetimbangan natrium. Furosemid dan asam etakrinat mempunyai natriuresis lebih kuat dibanding dengan tiazid, tetapi keduanya tidak mempunyai efek vasodilatasi arteriol langsung, seperti tiazid. Oleh karena itu tiazid terpilih untuk pengobatan hipertensi berdasarkan pertimbangan efektifitasnya.
      3.   Batu Ginjal
Untuk membantu mengeluarkan endapan kristal dari ginjal dan saluran kemih, digunakan obat diuretik misalnya tiazid.
4.   Diabetes Insipidus
Thiazid dapat menurunkan poliuria dan polidipsia pada pasien yang tidak responsif terhadap ADH. Lithium yang digunakan pada pengobatan gangguan manik-depresif, merupakan penyebab yang lazim untuk terjadinya diabetes insipidus karena pengaruh obat, dan thiazid telah diketahui mampu mambantu untuk digunakan dalam pengobatan. 
      5.   Hiperkalsemia
Furosemid dosis tinggi yang diberikan secara IV (100 mg) dalam infus larutan garam fisiologis dapat menghambat reabsorpsi natrium klorida, air dan kalsium ditubuli proksimal sehingga digunakan untuk pengobatan hiperkalsemia. Tetapi untuk tujuan ini diperlukan pengeluaran urin sebesar 20 liter sehari.
6.   Keadaan yang memerlukan diuresis cepat
Pada udem paru, pemberian furosemid atau asam etakrinat secara IV dapat menyebabkan diuresis cepat. Perbaikan yang terjadi mungkin disebabkan oleh adanya perubahan hemodinamik yaitu perubahan pada daya tampung vena, tetapi diperlukan untuk mempertahankan hasil tersebut (2,22).

II.8 Uraian Furosemid
Furosemid adalah salah satu diuretik dari derivat sulfonamid dengan rumus bangun sebagai berikut :

Pemerian   :    Serbuk hablur, putih sampai kuning, tidak berbau.
Kelarutan   :    Praktis tidak larut dalam air, mudah larut dalam aseton, dalam dimetilformamida dan dalam larutan alkali hidroksida, larut dalam metanol, agak sukar larut dalam etanol, sukar larut dalam eter, sangat sukar larut dalam kloroform (23).
Furosemid merupakan turunan sulfonamid berdaya diuretik kuat dan bekerja pada Henle bagian menaik, sangat efektif pada keadaan udema diotak dan paru-paru yang akut. Mula kerjanya pesat, oral dalam 0,5-1 jam dan bertahan 4-6 jam, diekskresi melalui urin. Dosis pada udema : oral 40-80 mg, pada insufisiensi ginjal sampai 250-4.000 mg sehari dalam 2-3 dosis. Injeksi i.v 20-40 mg, pada keadaan hipertensi sampai 500 mg. (3). 


Sumber :


1.    Mycek MJ. Harvey RA & Champe PC. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi II. Widya Medika, Jakarta. Hal 181, 226-236.

2.    Setiabudy, R. 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi V. Gaya Baru, Jakarta. Hal 389-403.

3.    Tjay, HT & Rahardja, K. 2002. Obat-Obat Penting. Edisi V. PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta. Hal 488.

4.    Wijayakusuma, H. 2004. Mencegah dan Mengatasi Batu Ginjal Secara Alami. 3, desember, 90.

5.    Yuniarti, T. 2008. Ensiklopedia Tanaman Obat Tradisional. Media Pressindo, Yogyakarta. Hal 135.

6.    Yudimasmi. Penyakit Darah Tinggi. [Serial on the Internet]. 2008. (dikutip 13 juni 2009). Available from : http://cerianet-agricultur.blogspot.com/2008_12_01_archive.html.

7.    Darman. Efek Diuretik Dekok Daun Jagung (Zea Mays L.) terhadap Marmot. Jurusan Farmasi. Fakultas MIPA. Universitas Hasanuddin. 1994. No.270, 164.

8.    Hardianto, S. Pengaruh Infus Tongkol Jagung muda terhadap daya larut batu ginjal kalsium secara in vitro. Fakultas Farmasi. Universitas Gajah Mada. 1989. No. 420, 228.

9.    Iriany N, Yasin M, Takdir A. 2007. Jagung Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Hal 12.

10. Rukmana, R. 2007. Jagung. CV. Aneka Ilmu. Semarang. Hal 16.   

11. Steenis, C. G. G. J. Van. 1986. Flora untuk Sekolah di Indonesia.  Cetakan IV. PT. Pradaya Paramita. Jakarta. Hal 97-102.

12. Suprapto, H. 1992. Bertanam Jagung. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta. Hal 1.

13. Afriastini, J. J. 1994. Daftar Nama Tanaman. Cetakan ke-6. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta. Hal 46.